Mengintip Muslim di Negeri Tirai Bambu
Oleh: Wima Brahmantya
Tidak lama lagi Perayaan Imlek akan tiba. Kali ini saya mau berbagi pengalaman ketika nglencer ke Negeri Tiongkok. Saya tertarik untuk menulis setelah akhir-akhir ini berseliweran berita di sosmed yang mengatakan bahwa Tiongkok adalah negara yang menindas warga negaranya yang beragama Islam. Gara-gara berita semacam itu banyak netizen jadi sedih, marah, dan membenci Tiongkok atas dasar sentimen agama. Lebih parah lagi akhirnya muncul juga beberapa komentar yang berbau SARA sehingga berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Apa benar Tiongkok adalah negeri yang membenci Islam secara an sich?
Terakhir kali saya berkunjung ke Cina Daratan (tidak termasuk Hong Kong dan Macau) adalah pada tahun 2009 bersama mantan pacar sayaElyzabeth LU (yang sekarang sudah jadi mamanya Wima Jr). Kunjungan itu juga untuk pertama kalinya saya plesiran secara mandiri tanpa ikut rombongan travel. Jadi saya atur sendiri rencana perjalanan, termasuk pembiayaan dan tujuan wisatanya. Ada satu kotapraja dan tiga provinsi yang saya kunjungi waktu itu : Beijing, Guangdong, Xinjiang, dan Tibet.
Untuk memahami tentang Muslim di Tiongkok ada baiknya kita mulai dari memahami makna yang terkandung dalam bendera nasional Tiongkok. Di dalam bendera berlatar belakang warna merah itu bisa disaksikan lima bintang kuning. Kelima bintang itu melambangkan lima suku besar yang ada di Tiongkok. Bintang terbesar merepresentasikan suku Han yang menjadi mayoritas di sana. Sementara empat bintang yang lain merepresentasikan suku Hui, Manchuria, Mongolia, dan Tibet. Masih ada banyak suku minoritas lain yang tidak disimbolkan dalam bintang (Karena kalau kebanyakan bintang ntar dikira bendera grup sirkus!).
Berdasarkan data resmi pemerintah, diperkirakan jumlah Muslim di Tiongkok ada di kisaran 25 juta orang. Sementara data-data dari sumber lain ada yang mengatakan sekitar 50 juta bahkan 100 juta. Mayoritas umat Islam di Tiongkok berasal dari suku Hui yang sebagian besar tinggal di Provinsi Ningxia. Suku Hui sebenarnya adalah suku Han. Hanya saja setelah mereka memeluk Islam maka mereka ‘memisahkan diri’ dengan membentuk entitas suku Hui (ini hal yang unik, karena sebenarnya Islam tidak mengenal batas suku dan bangsa). Jadi perawakan suku Hui ini tidak berbeda dengan bangsa Cina pada umumnya yang berkulit kuning dan bermata sipit. Secara umum suku Hui beraliran mazhab Hanafi.
Provinsi Xinjiang di ujung barat laut Tiongkok adalah salah satu tempat yang saya kunjungi. Seperti Provinsi Ningxia, mayoritas warga Xinjiang adalah Muslim. Bedanya mereka berasal dari suku-suku minoritas yang berasal dari Asia Tengah yang termasuk dalam rumpun bangsa Turki. Mereka adalah orang-orang Tajik, Kirghiz, Uzbek, Kazakh, Tatar, dan Uighur. Sehingga perawakannya sedikit berbeda dengan bangsa Cina pada umumnya, yaitu berhidung mancung, berambut kecoklatan, dan beberapa bermata biru.
Oke, pasti anda mulai kebayang wanita-wanita cantik kan? Bener banget.
Masyarakat etnis Turk ini kebanyakan tinggal di luar Urumqi (ibukota Xinjiang), yaitu di desa-desa dan pegunungan. Dalam sebuah kunjungan ke Pegunungan Tian Shan saya mendatangi perkampungan suku Kazakh yang tinggal di tenda-tenda seperti suku-suku nomaden pada umumnya. Anda pasti bakalan dijamu dengan ramah di dalam kehangatan tenda! Pada saat itu saya disuguhi makanan tradisional dan segelas “susu kambing persahabatan” yang terpaksa saya minum dengan perasaan ‘muneg-muneg’ karena bau dan rasanya tidak jelas apa mazhabnya!
Dan pasti, di perkampungan itu kita bakalan ketemu dengan ‘kembang-kembang desa’ yang aduhai abizz. Mereka biasanya akan berdiri di depan tenda dengan melirik dan tersenyum malu-malu kepada turis yang datang. Yang cowok pastinya lahh …
Oke, jadi biar saya jelaskan 2 da point. Para kembang desa kualitas wahid ini sebenarnya adalah orang-orang miskin. Jadi buat para jomblo yang mau cari jodoh cantik dan Muslim, sebenarnya mereka adalah target yang pas. Asalkan kalian bisa jamin kehidupan mereka bahagia aja kalo nanti dibawa pulang ke Indonesia. Kalau kalian gagal membahagiakan mereka, bisa-bisa mereka kabur ke Alexis tongue emotikon
Dan salah satu kesalahan saya adalah berkunjung ke tempat itu dengan mengajak pacar … wkwkwk (setelah baca artikel ini pasti yang ibu-ibu gak bakalan merekomendasikan untuk liburan ke Xinjiang).
Kembali ke laptop. Pertanyaan pentingnya adalah : Bagaimana sikap Pemerintah Tiongkok terhadap warganya yang beragama Islam? Apakah benar mereka membenci dan menindas Muslim yang ada di sana?
Yang harus dipahami adalah Tiongkok sebagai negara komunis tidak akan membiarkan pergerakan apa pun yang dianggap membahayakan negara. Sehingga umat mana pun dan agama apa pun yang dinilai berpotensi makar terhadap negara akan ditindak secara tegas.
Saya ambil contoh Kekristenan di Tiongkok. Aliran Protestan berkembang cukup pesat di Tiongkok, sementara tidak untuk aliran Katolik Roma. Kenapa? Karena hierarki tertinggi untuk umat Katolik Dunia ada di Kepausan di Vatikan. Sehingga dalam hal ini negara Tiongkok tidak bisa menerima bahwa warganya yang beragama Katolik melihat kedudukan Sri Paus lebih tinggi daripada negara. Maka dari itu Tiongkok membentuk ‘kepausan tersendiri’ yang dinamakan “Chinese Patriotic Catholic Association”, yang mana CPCA harus mengakui bahwa kekuasaan tertinggi ada pada negara dan harus memutus hubungan dengan Kepausan di Vatikan.
Jadi bagaimana dengan umat Islam di Tiongkok?
Sejauh saya ketahui, tidak ada masalah berarti antara Muslim Tiongkok dengan pemerintah, sepanjang tidak ada upaya untuk makar terhadap negara. Suku Hui misalnya, hubungan mereka baik-baik saja dengan pemerintah karena suku Hui tidak pernah berusaha memberontak kepada negara. Ini wajar, karena suku Hui adalah ‘pribumi’ di negeri Tiongkok.
Nah, yang selama ini mencuat di pemberitaan adalah sikap Pemerintah Tiongkok yang represif kepada etnis Uighur. Ini dikarenakan dari kalangan suku Uighur muncul gerakan pemberontak yang ingin mendirikan negara “East Turkestan” dan memisahkan diri dari Tiongkok. Keinginan memberontak ini berawal dari perasaan diskriminasi terhadap etnis-etnis minoritas Turk, karena masih ada stigma bahwa mereka bukanlah ‘pribumi’, dikarenakan perbedaan ras. Pemerintah Tiongkok tidak akan memberikan ampun kepada siapa pun yang ingin memberontak terhadap negara. Jadi sikap represif Tiongkok terhadap kelompok separatis yang ditampilkan oleh media sebagai “Muslim” ini sebenarnya bukanlah kebencian Tiongkok terhadap umat Islam secara an sich.
Sama halnya dengan umat Buddha di Tibet. Sudah lama sebenarnya masyarakat Tibet merasa tidak senang menjadi bagian dari Tiongkok yang mencaplok wilayah Tibet pada tahun 1950 dengan berdarah-darah. Itulah sebabnya Dalai Lama XIV ditetapkan sebagai musuh negara dan selama puluhan tahun sudah beliau tidak bisa mengunjungi Istana Potala di Lhasa – Tibet. Praktis saat ini istana tersebut tidak lagi berfungsi sepenuhnya sebagai tempat spiritual umat Buddha, tapi lebih kepada obyek wisata belaka.
Dan selama ini rasanya kita tidak pernah kan mendengar umat Buddha di Indonesia protes karena merasa terzalimi oleh Tiongkok? Itu karena mereka paham akar permasalahannya bukan di kebencian terhadap Buddha itu sendiri, tapi lebih karena persoalan politik saja.
Memang dikarenakan Tiongkok adalah negara komunis, maka agama tidak diakui dalam sistem pemerintahan. Misalkan saja, seorang pejabat pemerintahan secara formal haruslah tidak beragama. Tapi dalam kehidupan keseharian boleh-boleh saja memiliki keyakinannya sendiri.
Ketika berkunjung ke kota Turpan (Tu-lu-fan) di Provinsi Xinjiang, saya sempat mampir ke rumah seorang pejabat sekretaris daerah (sekda) kota tsb. Saya ingat namanya Yusuf. Tapi entah nama lengkapnya siapa, yang jelas bukan Yusuf Mansyur. Dalam obrolan kami, Yusuf mengatakan bahwa ia sangat ingin pergi Haji, sayangnya dia adalah pejabat pemerintahan. Sehingga ia baru bisa menunaikan Haji setelah pensiun.
Inti dari apa yang telah saya paparkan di atas adalah bahwa dalam bersikap sebaiknya didasari oleh ilmu, sehingga kita memahami pokok persoalannya. Apalagi kalau sudah menyangkut persoalan SARA khususnya agama, sebaiknya kita benar-benar berhati-hati dalam menerima info dan mempelajarinya secara teliti sebelum kemudian kita menyatakan sikap (QS 49:6).
Jadi pesan saya kepada umat Islam di Indonesia, ayo jangan terlalu sentimentil dan gampang emosional lah. Mari kita dudukkan segala sesuatu pada pokok persoalannya sehingga kita bersikap adil (QS 5:8).
Agar kita mampu bersikap adil, maka praktekkan ajaran-ajaran yang ada di Alquran, salah satunya adalah anjuran untuk bepergian melihat dunia (QS 40:21, 40: 82 dan QS 47:10) sekaligus mengenal umat manusia yang berbeda-beda suku dan bangsa (QS 49:13).
Akhirnya, saya ucapkan “Xin Nian Kuai Le, Gong Xi Fa Cai” semoga tahun ini penuh rezeki!